Tanda baca yang terdapat dalam EYD :
1. Tanda Titik
- Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Weltervreden: Balai Pustaka.
2. Tanda Koma (,)
- Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
3. Tanda Titik Dua (:)
- Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya:
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.
4. Tanda Hubung (-)
- Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris.
Misalnya:
Di samping cara-cara lama itu ada ju-
ga cara yang baru.
5. Tanda Pisah (–)
- Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya:
Kemerdekaan bangsa itu–saya yakin akan tercapai–diperjuangkan oleh bangas itu sendiri.
6. Tanda Tanya (?)
- Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya:
Kapan ia berangkat?
7. Tanda Seru (!)
- Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Misalnya:
Alangkah seramnya peristiwa itu!
8. Tanda Kurung ((…))
- Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Misalnya:
Bagian Perencanaan sudah selesai menyusun DIK (Daftar Isian Kegiatan) kantor itu.
9. Tanda Petik (“…”)
- Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
Misalnya:
Bacalah ”Bola Lampu” dalam buku Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat.
10. Tanda Penyingkat atau Apostrof (‘)
- Tanda penyingkat atau apostrof menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.
Misalnya:
Ali ’kan kusurati. (‘kan = akan)
CONTOH BERITA YANG TIDAK BAKU
Penyaluran bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ternyata banyak nyasar. Tidak jelasnya kriteria baku penerima bantuan ini, menjadi pemicu BLSM tak tepat sasaran.
Terhitung sampai tanggal 16 Juli 2013, sekitar 47.074 Kartu
Perlindungan Sosial (KPS) sebagai persyaratan utama menerima BLSM
telah dikembalikan. Jumlah tersebut diperkirakan masih mungkin terus
bertambah hingga seluruh KPS dibagikan. Seluruh KPS tersebut nantinya
akan diganti dengan nama-nama penerima baru, berhak menerima BLSM dan
bantuan lainnya.
“Tidak ada kriteria baku memang,” ujar Sri Kusumastuti Rahayu,
Ketua Pokja Pengendali Klaster I Program Bantuan Sosial TNP2K (Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) di Jakarta, kemarin
(18/7).
Sebab, lanjutnya, kriteria tersebut akan disesuaikan untuk tiap
masing-masing rumah tangga dan tiap daerah. Sehingga, antara setiap
daerah satu dengan lain memiliki kriteria warga miskin berbeda-beda. Ia
memberi contoh, misalnya wilayah DKI dan sekitarnya. Memilliki handphone atau sepeda motor tidak akan bisa dijadikan patokan menentukan seseorang miskin atau kaya. Pasalnya, nyaris semua warga memiliki dua barang tersebut. Beda halnya dibandingkan dengan daerah terpencil lainnya.
“Oleh sebab itu, tidak jarang memang ada penemuan penerima bantuan memiliki handphone dan lainnya. Menurut survei, setidaknya 7 dari 10 warga DKI memiliki handphone,” jelasnya.
Ia menilai, kriteria baku tidak akan dapat digunakan maksimal dalam
pendataan tersebut. Harus ada pembanding antara rumah tangga satu
dengan lainnya. Misalnya, jumlah anak, pekerjaan pasangan suami istri,
status dari kepala rumah tangga, dan sebagainya. Sayangnya, hal tersebut
justru menimbulkan dugaan adanya ketidaktepatan pendataan, sehingga
banyak BLSM nyasar.
Kenyataannya, tambahnya, di lapangan
banyak ditemukan ketidaktepatan sasaran-sasaran tersebut. Baik kondisi
penerima, maupun alamat dituju untuk pengiriman KPS. Banyak warga
dianggap mampu, namun justru menerima bantuan.
Sri menyatakan, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Kesalahan
pendataan tidak dapat dihilangkan. Terlebih, data yang digunakan tahun
2011. Sehingga, sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan terhadap
kondisi di masyarakat. “Kalau memang ada tidak berhak tapi menerima
(BLSM), itu pasti ada. Paling hanya 6 persen, tidak lebih. Dan saat ini
sudah kita perbaiki, jadi saat ini tidak separah itu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan pendataan
terkait jumlah warga miskin di Indonesia. Sekitar 50 persen data telah
dikumpulkan melalui survei bekerja sama dengan desa terkait. Kemudian,
dilakukan pengurutan oleh TNP2K selanjutnya diambil 40 persen dari
nomor urut paling bawah (paling miskin) untuk didata kembali.
Ditalangi APBD
Di sisi lain, pemerintah membuka banyak jalan mengatasi persoalan
pendistribusian BLSM. Pemda diminta menggunakan dana talangan dari APBD
guna menutupi kekurangan anggaran bantuan.
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan dua
aturan berbentuk Instruksi Mendagri Nomor 541/3150/SJ Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Pembagian Kartu Perlindungan Sosial, dan Penanganan
Pengaduan Masyarakat dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 541/3674/SJ
tanggal 15 Juli 2013, perihal Bantuan untuk Keluarga Miskin di Luar
Daftar BLSM Pusat.
“Sudah kita buat aturannya kemarin.
Cara penggunaan dana di luar BLSM pusat itu, daerah boleh
menganggarkannya dan menambah jika daerah menganggap ada harus
ditambah,” ungkapnya usai membuka Rapat Kerja V Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) di Jakarta, kemarin.
Dalam kondisi daerah tertentu ada warganya layak menerima BLSM namun
tidak terhitung sebelumnya, dalam SE Mendagri itu boleh dipergunakan.
Ini untuk menghindari pemilihan jalan pintas dengan cara memotong
nominal BLSM, dan potongannya dialokasikan kepada pihak lain juga berhak
menerima bantuan tunai tersebut. “Kalau ada di luar paket sekitar 15,5
juta kepala keluarga RTS (rumah tangga sasaran) penerima BLSM itu, kita
harapkan partisipasi provinsi, kabupaten, dan kota,” tegasnya.
Dalam aturan Kemendagri, dana talangan untuk BLSM boleh diambil dari
APBD. Jika belum tertampung, bisa dilakukan melalui APBD Perubahan.
Jika tidak memungkinkan juga, bisa melalui peluncuran peraturan
gubernur. “Dibuat saja dulu nanti dipertanggungjawabkan di akhir,”
ujarnya (jpnn)